Pages

Minggu, 04 September 2011

Seputih Ibadahmu

Akhirnya aku dan Ibuku sampai di rumah nenek.Yang berada dikawasan Suruhan Lor,Bandung,Tulungagung.Tepatnya,adalah rumah depan jembatan Singgit yang ada sungai kecilnya.Suara gemuruh motor yang berlalu lalang dijalan raya yang menunjukkan arus mudik dari arah manapun semakin terdengar nyaring di telingaku.Kali ini,perjalanan terasa lumayan panjang dan jalan yang berliku,serta geronjalan batu dikanan kiri jalan melengkapi suasana letih disiang yang panas ini.Aku biasa mudik saat lebaran kurang empat/tiga hari lagi.Itupun sering aku jalani dengan motor Ibu,dan beberapa makanan dari Boyolangu yang dipesankan nenek,ketika akan kemari.Makanan yang nenek gemari biasanya cenil,rujak,dan geti.Ya walau geti makanan yang keras,tapi nenekku tetap punya semangat untuk memakannya.Karena giginya masih sangatlah kuat.Sesekali makan geti,pasti disisakan untuk keesokan harinya.Itulah nenekku,nenek yang sangat hemat dan cermat.Sudah dibuktikan juga mengenai hal itu,sebab dengan uang pensiunan kakek,dan hasil sawah yang melimpah ruah beliau selalu menabungnya.Dan alhamdulillah hasilnya dapat digunakan untuk keinginannya naik haji.
          Sesampainya,aku di rumah nenek.Beliau segera kucium tanganya,begitu pula kakek yang tengah terbaring dikasur kayu.”Kek,ini aku Arin cucumu.Aku sudah sampai disini,lebaran nanti aku akan menemani dan membantu nenek merawat kakek.”,kataku sambil merendahkan tubuh,mengelus-elus tangan keriputnya dan menatap mata kakek.Kakek hanya menganggukkan kepalanya,dengan penuh tatapan mata sayu dan wajah yang sudah mengeriput kurus kering.Beliau sakit karena pernah terpeleset dan terjatuh di kamar mandi.Kejadian itu sejak aku duduk dibangku kelas 1SD,sampai ketika itu aku naik kelas 2.
          Entah mengapa,ketika matahari yang bersinar akan kembali keperaduannya.Aku terasa pilu dan hasrat ingin meneteskan air mata selalu muncul saat aku memadangi keadaan kakek sekarang.Aku mengartikan bahwa pandangan kosong dari kedua bola mata kakek,mewujudkan suatu hidup yang lemah dan lelah.Karena sudah melawan maut sejak lama.Sekarang dalam hatinya hanya ingin memanjatkan doa untuk harapannya hidup lebih lama.Dan ada suatu mukjizat yang membuatnya kembali dalam keadaan normal.
          Aku hanya menatap raut wajahnya dengan gelisah.Dan selalu memanjatkan doa untuk kesembuhan beliau.Aku tak kuasa lagi menahan air mata yang tanpa sengaja jatuh dari kedua bola mataku yang memerah.Sesekali aku menghembuskan nafas dalam-dalam,kakekku memandangiku dengan penuh rasa haru.
          Nenek dan Ibuku berdiri sambil menengadah keadaan haru itu.Aku segera berdiri sambil mengusap air mata yang berlinang dipipi merahku.Aku mencoba melepaskan tangan kananku dari genggaman kakek.”Kek,sudah tidak perlu khawatir.Yakinlah suatu saat nanti kakek pasti sembuh.”,kataku sembari mengembalikan suasana yang semula penuh senyum menjadi haru biru.Nenek dan Ibu hanya berdiri,terpaku dalam linangan air mataku.
”Nak,ayo tasnya ditaruh dulu.”,kata Ibuku sembari mengajak ku untuk bangkit dari rengkuhan kesedihan kakek.Seketika beliau menepukkan tangan dipundakku,dengan penuh kelembutan kasih sayangnya.Aku pun hanya menganggukkan kepala,dan mengusap air mataku.Kemudian aku,menoleh kearah rumah bulek yang ada dideket rumah nenek.Serta aku,mencoba melangkahkan kaki perlahan tapi pasti agar kesedihan ini senantiasa terlupakan.Sambil ku genggam tali yang tasku,aku mempercepat langkah kakiku.Dan menaiki keempat tangga yang menghubungkann rumah nenek dengan rumah bulek.Aku berusaha membuang jauh-jauh,rasa sedih itu.Dan mencoba memperlihatkan senyuman manis kepada siapapun orang yang memandangku.Dengan teriakkan manja seorang anak SD,yang tertekan oleh sebuah penderitaan aku menyambut kehadiran bulikku dari balik pintu yang terbuka lebar.”Bulik....!”,teriakku sambil menatap bulik dengan penuh kegembiraan.Begitu juga,aku langsung mencium tangan kanan bulik.Aku senang,meski masih ada penat yang ada didadaku tentang kakek.Karena usahaku untuk berusaha tersenyum dan menghibur hari-hari sedih bulik berhasil.Bulikkupun seketika,tersenyum dan membelai rambut panjang hitamku.
          “Rin,kamu sama siapa kesini?”,tanya bulekku penuh kelembutan dan kesabaran.Selanjutnya,datanglah Ibuku dari belakang yang menyusul jawaban yang akan kulontarkan pada bulik.”Sama aku Dek.”,kata Ibuku sambil berjalan menuju depan pintu belakang rumah bulik,tempat pertemuanku dengan bulik tadi.Ibuku memperlambat langkahnya,sambil mengusap sedikit peluh keringat maupun air mata yang ikut berlinang.Bulik menatap mata Ibu yang terlihat sayu dan sedih.Dipandanginya beliau dengan penuh rasa penasaran.Dalam batinnya bergumam,”Ada apa dengan kakakku ini?Sepertinya ada yang disembunyikan darinya.”
Sosok wanita umur 45 tahunan ini,sering memakai celana hitam dan baju panjang,serta tak lupa memakai jaket parasit hitam yang didapatnya dari pembelian sepeda motor.Dengan anggunnya,beliau selalu berjilbab.Dan jilbabnya disesuaikan dengan warna pakaiannya.Berdiri terpaku menatap bulekku.Yah,itulah Ibuku putri ketiga dari kakek dan nenekku.
          Beliau kemudian menatap mata merah putri ragil dari kakek dan nenek yang selalu rajin merawat kakekku itu.Angin semilir melewati celah-celah jendela ditempeli debu yang berkelana sebentar.Seakan burung-burung tak lagi terbang dan berdiri direngkuhan atap-atap genteng yang mulai rapuh,dan gosong.Hati ini,terasa bergetar ikut merasakan suasana yang berubah menjadi kabut kisah duka kakek.
          Aku berusaha mengembalikan suasana yang keruh ini.”Hmmmms....,kenapa ini terus begini?”,gumamku dalam kalbu.Derap kakiku mengetuk-ngetuk lantai dari batu kapur ini dengan irama teratur.Mataku terbelalak melihat suasana yang masih haru,namun dengan isyarat mata saja.Karena Ibu dan bulikku ini,hanya diam seribu bahasa tak ada yang berani mengucap sepatah katapun.Aku hanya menikmati suasana ini,dengan berusaha tersenyum kecil.Wanita yang ada dihadapanku,memakai daster hijau lengan pendek dan berambut keriting sedikit keputih-putihan.Maklum sudah mau tua,dan mungkin terlalu banyak beban pikiran yang ditanggungnya sendiri.
          Lelah hati ini menatapi tatapan kosong,yang bermakna sedih dan dalam ini.Aku bergegas melangkahkan kaki cepat menerobos menuju pintu belakang yang dihadang oleh bulikku.Sebab terdiam begitu lama,menyaksikan aku menorobos pintu.Bulikku terkejut,”Ha....!”,dan wajahnya mulai terlihat gelisah.Namun sesekali,ketika kuberbalik muka memandanginya.Beliau juga membelokkan kepalanya dan menatapkan sambil berusaha terenyum kecil untukku.Kelihatan memaksakan diri untuk tersenyum,itulah bulekku.Orang yang humoris dan pendiam.
          Aku tak membalas senyum beliau.Selanjutnya,aku memperlambat derap langkahku dan memasuki kamar depan yang biasa aku tempati bila aku tidur di rumah bulik.Rumah yang cukup layak dengan tiga kamar yang bisa ditempati.Dan tembok-tembok kokoh yang mencengkeram kuat,atap genteng kayu merah kecoklatan yang dulu sekarang jadilah atap cat putih yang indah dengan gemerlapan lampu.”Hmmmss....!”,hembusan nafas kecilku sambil kurentangkan tubuh ini menuju ranjang springbed yang empuk ini.Sprei berwarna merah bata,dilengkapi dengan bunga-bunga kuningnya yang menambah damainya kalbu jika dengan nyamannya tubuh tergeletak disini.Aku mulai membuka satu jendela diantara ketiga jendela kamar di rumah bulek ini.Yaitu jendela yang pertama dari pinggir kiri.Korden yang tertata rapi,berwarna oranye lumayan panjang ini kubuka bersamaan kayu dari jendela tadi.Kupandangi butiran debu yang pergi meninggalkanku karena terhempas oleh desiran angin.Terbawa bersama asap-asap kendaraan dijalan raya depan rumah bulek.Kutengok,kesana banyak dari mereka yang rajin bekerja dan mungkin jalur ini juga digunakan untuk mudik.Karena para pengendara sangatlah dalam jumlah besar.Kawasan ini juga merupakan kawasan rawan kecelakaan.Buktinya banyak juga yang terkena musibah kecelakaan disini.Ada yang keserempet,jatuh ke sungai yang besar diseberang jalan,dll.”Semoga saja keluargaku terlindung dari musibah tersebut,Amin.”,kataku sendiri sembari memohon keselamatan dari Allah SWT.
          Memandangi jalan raya yang ramai,dan menikmati lambaian daun-daun pisang dipinggir jalan membuat udara tidak terlalu keruh.Aku hanya termenung sendiri,dikeheningan matahari yang mulai kembali keperaduannya.Kulipat tangan berkulit sawo matang ini,dan diatasnya kusandarkan daguku yang lumayan lancip kata orang.”Ha..ha..!”,tawa kecilku dalam hati.Ada yang bilang juga kalau anak dagunya lancip,akan pintar bersilat lidah.Ada juga yang bilang anak ini akan banyak omongannya.Ah,kubiarkan saja tentang anggapan mitos dari mereka-mereka yang tak mengerti bagaimana aku.Aku anggap anjing menggonggong khafilah berlalu.Seperti peribahasa yang sudah tak asing lagi ditelingaku ketika kala itu.
          Kubelokkan kepala melihat jam dinding yang ada ditembok bercat hijau diarah samping kanan kamar.Jarum pendek telah menunjukkan pukul 17 lebih 12 menit.Aku segera melangkahkan kaki menuju keluar kamar,untuk mwngambil handuk putih yang ada dijemuran halaman belakang yang menyambungkan pintu rumah nenek dan bulik.Setelah kututup pintu kamar kembali,entah apa yang terjadi tiba-tiba perutku terasa mual.Namun tak ada satu orangpun di rumah ini,suasana sepi dan senyap mewarnai kehdupan.Aku berlari keluar pintu belakang rumah bulik,dan ku jambret handuk yang tengah dijemur bersama semilir angin yang menggoyang-goyangkan pakaian-pakaian bersih di udara.
Segeralah aku melanjutkan derap langkah panjangku untuk bergegas masuk ke kamar mandi.Kemudian kumuntahkan apa yang membuatku mual.Entah mengapa,aku mencium bau bunga melati yang begitu menyerbu hidungku.Ku alirkan air dari gayung hijau yang ada dikamar mandi bulek.Kemudian aku membasaihi tubuh dengan air dan membersihkannya dengan sabun mandi,wangi pepaya.Begitu seterusnya,sampai semuanya selesai aku segera keluar dari kamar mandi yang tiba-tiba ada bau melati yang membuatku semakin mual.Ku pakai handuk dari bulikku yang sekarang sedang duduk santai sambil membicarakan sesuatu bersama Ibuku.Kaos merah yang tadi kupakai,setelah mandi ku pakai lagi,dan kubalut bagian bawah dengan handuk putih.Mengendap-endap aku mempercepat langkah,ku coba dengarkan bisik-bisik suara Ibu dan bulikku.Aku tengah berdiri belakang tembok hijau pembatas antara ruangan santai dan kursi-kursi duduk yang ada disamping pintu.Kupasang telinga baik-baik,ternyata Ibuku melirikku lewat jendela.Matanya sayu,terlihat memaksakan untuk menatapku dalm-dalam.Dibalik kaca jendela yang dipinggirnya terdapat kayu yang diplitur untuk hiasan jendela,beliau duduk memakai daster.Lirikan yang begitu tajam,membuat hatiku gelisah dan aku segera menembah derap kaki serta berlari menuju kamar.Entah mengapa,hatiku begitu sedih.Aku merasa dikucilkan hari ini,mungkin karena aku masih kecil jadi aku tidak diberitahu tentang sesuatu yang mereka sedang rundingkan itu.”Brrrrruk...!”,pintu kamar segera kututup erat-erat dan tak lupa aku menguncinya dari dalam.Aku mengganti pakaian yang kupakai sekarang.
“Tok...tok...tok...,Nak buka pintunya Ibu mau masuk!”,kata Ibuku sembari mengetuk pintu kamar yang telah terkunci rapat.Berdiri aku,disamping sping bed milik bulik.Aku sudah mengganti pakaianku,dan kumulai menata rambut yang bergelombang ini dengan sisir milik bulik warna kuning yang mulai pudar.”Ya,Bu sebentar.”teriakku menyahut Ibu yang tengah berada berdiri didepan pintu.
Perlahan-lahan kuberjalan henda membukakan pintu Ibu.”Krrreek...!”,suara pintu kamar yang kubuka.Matanya terbelalak seperti akan menceritakan sesuatu,namun segan untuk diceritakan.Rambutnya yang disemir merah,pendek,dan lurus terbawa oleh semilir angin yang masuk melalui ventilasi rumah.Aku berdiri,terpaku memandangi raut wajah Ibu yang nampak kebakaran jenggot.Entah apa sebabnya,lamunanku jauh melayang-layang.Ibu hanya terdiam,dengan wajah sendu tak karuan.Namun beliau tak membiarkan situasi membingungkan ini.
Kemudian beliau menyerobot disampingku,serta mempercepat langkah kakinya untuk masuk ke kamar.Kutengok,beliau tak membalasku.Aku tak kuasa melihat situasi ini selalu menghantui Ibuku.Lebih baik aku pergi dari kamar,dan aku menuju halaman belakang rumah bulek.Kulewati pintu belakang,dan turun menuju pekarangan yang disebelahnya ada kandang ayam,dan bangau ini.Disampingnya ada rumah tingkat tetangga,jadi atap rumah tinggi yang megah itu bisa kupandang dari luasnya pekarangan bulek.Dibelakang pekarangan ini ada kolam ikan lele milik pakde depan rumah bulek.Aku sedang jongkok ditengah-tengah pekarangan yang diselimuti oleh kandang aym dan bangau.Kupandangi lingkungan sekitar yang lumayan subur,dipenuhi dengan tanaman toga milik nenek.Serta kandang ayam,yang ramai dengan induk dan anak ayam yang repot mengais-ngais tanah untuk mencari makan.Kaki yang bercakar sangatlah kuat untuk mengais segundukan tanah yang ada disekitar kandang.Beberapa keluar,namun yang banyak masih didalam kandangnya.Kualihkan pandangku dari ayam-ayam yang gemuk dan tumbuh besar itu,menuju bangau putih yang berkeliaran agak jauh dariku.Begitu juga bangau,tumbuh dengan subur.Sebagian dari bangau-bangau ini sedang mencari minuman dikali dekat kolam ikan lele milik pakde.Ada juga yang masuk dan mengibas-ngibaskan bulu putih nan anggunnya diudara.Karena dia takut jika tenggelam dalam air yang agak keruh itu.”Ha...ha!”,tawa kecilku dalam hati senang melihat bangau dan ayam bebas di lingkungan sehat ini.Semilir angin mengantarkan pandanganku pada atap rumah tetanggaku.Udara segar yang menyelimuti pekarangan rumah bulik,perlahan-lahan kuhirup dengan tenang.Indahnya alam ini,namun tak seindah hatiku yang selalu dirundung kegelisahan jika melihat keadaan kakek sekilas saja.
“Astaghfiruwloh,aku lupa aku belum shalat asyar.”,seketika aku melompat kembali masuk ke rumah bulek dan menutup pintu rumah belakang.Kemudian kupandang cepat jarum pendek pada jam,menunjukkan pukul 17.22.Aku segera bergegas mengambil air wudhu dan segera melaksanakan ibadah shalat asyar.Kulakukannya didalam kamar depan yang biasa aku tempati bersama Ibu.
Kala itu pula nenekku,memanggil-manggil aku.”Rin,ayo bantu nenek!”,ajak beliau tengah berdiri didepan televisi rumah bulik.Cukup lama aku tak menyahutnya,nenekpun berusaha mencariku.Pertama di kamar bulikku,dan tak ada  batang hidungku sama seali disana.Kemudian beliau berjalan kearah depan,dan pintu sedikit terbuka.Nenekkupun spontan menjerit ketakutan,”Ha......!Apa itu Rin,astaghfiruwloh hal ngadzim.”,seketika itu pula beliau berlari berbalik arah dan melewati tiga tingkat pemisah rumah nenekdan bulik.Segeralah beliau masuk pintu rumahnya,tetap berteriak juga tak ada habisnya.
Mendengar itu,kakekku yang semula tidur sekarang beliau membuka mata dengan cepat dan beliau mencoba untuk menggerak-gerakkan tubuhnya untuk bangun menenangkan nenek.Dalam hatinya ia ingin sekali bangun dan membantu nenek,namun takdir berkata lain padanya.Beliau hanya bisa berdo’a dan bersabar.Juga tak lupa beliau selalu bersyukur dan menerima segala cobaan yang ada.Karena beliau yakin Allah tak akan memberikan cobaan kepada hambanya diluar batas kemampuannya.
Nenek menghentikan langkahnya didepan pintu samping rumahnya.Nafasnya terengah-engah dan peluh keringat bercucuran membasahi sekujur tubuhnya.Kemudian beliau mencoba duduk bersandar sembari menenangkan diri sendiri diluar rumah ada tempat duduk yang masih bisa digunakan walau hanya dari bambu yang reot.
“Amin...!”,kata terakhirku setelah berdoa.Kemudian aku membereskan rukuh dan sajadah yang kupakai.Aku merasa bersalah pada nenek yang ketakutan denganku tadi.
Setelah semuanya rapi,aku mencari nenek.Dan kutemui nenek tengah bersandar santai dikursi dari bambu reot samping rumahnya.Kudekati nenek,”Nek maafkan aku,tadi bukan suatu hal yang gaib.Tapi tadi aku sedang shalat dan mendoakan kakek.”,seketika aku duduk disamping nenek.Dengan hati gemetar aku menundukkan kepala menunggu jawaban nenek.”Ya aku tahu,aku baru tersadar ketika aku duduk disini.Ya sudah lupakan saja!”,kata nenek sedikit marah denganku.Kemudian beliau pergi dariku dan masuk kedalam rumah.
Kuhembuskan nafas sedikit merasa lega,dan kulentangkan tubuh ini bersama sejuknya udara disini.Entah mengapa,aku merasa sangat menikmati angin yang silih berganti dan akhirnya aku terlelap.
Aku melihat sesuatu yang amat putih,bersih dan rapi.Tak ada satu orang disitu yang tidak memakai pakaian serba putih,semuanya berwarna putih.Dan aku bingung ini ada dimana.Keadaan alam yang sejuk dan langit bumi terlihat sangatlah dekat.Heranku mereka tak memanggilku,padahal aku berdiri dibelakangnya.”Mengapa mereka membuat barisan-barisan panjang?”,tanyaku dalam hati.
Namun tak lama kemudian,tiba-tiba mereka menghilang dan sekarang berubahlah mereka menjadi kain putih nan bersih membuat barisan yang panjang.Aku mencoba mendekati mereka tapi mengapa diri ini tak bisa.Bahkan aku terlempar jauh,suasana itu tetap bisa kupadang walaupun dari kejauhan.
“Kain putih baris-baris.”,teriakku lantang ketika Ibuku mengetahui bahwa aku tidur diluar.Suasana dingin menusuk tulang igaku.Entah apa yang terjadi,”Glubuk.....,Aduh...!”,suaraku yang ternyata terjatuh dari kursi bambu itu.
Aku sangat terkejut,karena ketika itu Ibuku berdiri dihadapanku dan menangisserta terus menahan air mata yang berlinang dipipinya.Aku bertanya kepada beliau,”Ada apa Bu?Mengapa Ibu menangis?”,tanyaku penasaran.Dan kupandangi rumah nenek mulai dikerumuni banyak orang.Seketika Ibuku memeluk erat aku sambil berkata,”Kakekmu telah tiada Rin.”
Aku menangis meronta-ronta,dan menceritakan seluruh mimpi yang aku lalui.Ibuku berusaha menenagkanku,”Mungkin ketika itu Malaikat Izrail lah yang menjemput kakekmu.”
Semoga arwah kakekmu diterima disisi Nya.”
“Amin..!”,jawabku perlahan dengan diselimuti hangatnya pelukan Ibu.
Itulah sekilas pengalaman yang paling mengesankan dan menegangkan ketika ramadhan pada waktu kecilku.
Oleh:Auliya SM

Antologi samudera kesabaran_yang deadlinenya sampai tanggal 4 September 2011

Selasa, 30 Agustus 2011

Puisiku

"Seruan Untukmu"
Lambaian sayu dan miris
Bak kesucian yang terenggut
Kalbu ini tak mampu bergeming
Jiwa ini kian rapuh meruntuh

Namun kobaran api semangatmu
Buat hidup penuh senyuman lagi
Meski garam tak lagi di laut                                 
Lereng tak lagi di gunung
Daku genggam suara merdu dari surga
Ku ciptakan butiran mutiara mengkilap
Mampu menarik para pemburu duniawi

Nista jajahan menyisakan luka terdalam
Bukan merdeka sesungguhnya
Jika hati penerus tak terpatri 
Dalam satu sanubari perjuangan

Senin, 29 Agustus 2011

Cerita Imajinasiku

 Seuntai  Simfoni
         “Haduh,panasnya suasana hari ini.”,kata salah satu anak muda yang tengah duduk bersandar dibangku kelas XII SMU Mutiara Bakti sembari mengipas-ngipaskan topinya.Peluh keringat bercucuran membasahi wajahnya yang berkulit sawo matang,lumayan manis ini.Lagaknya memang agak misterius,dan sombong.Namun disisi lain dia juga berhati baik.Gayanya yang terkesan gaul itu,membuat siswi yang ada disekolahnya banyak yang tertarik dengannya.Namun tak satupun ada yang mampu menarik hatinya.Terkadang dia suka melamun dan terlihat bermuka masam jika sedang menyendiri.Anak muda yang lumayan tinggi dan bertubuh agak kekar ini,sangat menyukai musik.Baginya musik adalah alunan simfoni yang indah,jika hidup selalu diiringinya.
          Ketika dia sedang duduk santai,dan mulai melamun tibalah seorang teman laki-laki yang mengagetinya dari belakang.sambil berdiri,dan menikam pundaknya erat-erat.
”Lana.........!”,teriaknya dengan lantang.Lana menganggukkan kepala dengan tidak sengaja,sambil melepaskan kedua tangannya yang ditempelkan keperutnya.
          “hhh..,Ha.........!”,terdengar reflek dari Lana terkejut mendengar suara temannya dari belakang.Kemudian sedikit menghembuskan nafas lega,dan menengok kebelakang.
“Wah,ternyata kamu Ar!Kukira siapa.”
“Ha...ha,kaget ya?”
“Sedang apa sih kau ini ku lihat-lihat dari tadi kok melamun saja.Apakah ada yang membebani pikiranmu kawan?”,tanya temannya dengan muka penasaran dan menyambar bangku yang ada didekat Lana dan segera duduk mentap muka Lana.
          Lana tak membalas tatapan muka Ardi,namun dia malah menundukkan kepala dan mengepalkan jarinya.Seketika diusap-usapkan jarinya untuk menghilangkan peluh yang menetes dijidatnya.Dengan gayanya,itu Ardi merasa lebih penasaran dengan teman yang sudah dianggapnya sebagai saudara sendiri.
          “Ya sudahlah kawan,tidak apa-apa kalau kamu memang nggak mau cerita sama aku.”,kata anak semata wayang itu dengan nada yang terdengar bijaksa“Kutinggal dulu ya?”,seketika dia berdiri dan minta ijin ke Lana untuk pergi entah kemana.
          Lana hanya mengangguk-nganggukkan kepala sambil sebentar menoleh kearah Ardi.Dan kembali lagi menundukkan kepala,untuk merenungkan sesuatu entah itu apa.Dalam benaknya ia,hanya teringat sosok yang keras,gagah perkasa,dan penuh tanggung jawab sedang mengemban amanat besar bak seorang pahlawan yang tangguh.Kemudian teringatlah kepada seorang Ayah yang tiada pernah dia tau batang hidungnya mulai hidup di bumi,sampai sekarang duduk dibangku SMP.”Alangkah indahnya,mempunyai keluarga yang lengkap.”,gumamnya dalam hati sanubari.
          Karena kini ia hanya hidup bersama Ibu dan kedua adiknya.Hidup ini memang sulit dan kejam baginya setelah usaha Ibunya untuk menafkahi dia dan kedua adiknya dengan memimpin sebuah perusahaan menjadi bangkrut.Semenjak itu,hidup mereka menjadi lebih susah.Karena untuk mencari sesuap nasi saja,terasa sulit untuk mereka.Yang sebelumnya hidup dalam kemewahan dan serba berkecukupan itu.
          Sekian lama merenungi seorang Ayah yang diidam-idamkan dan hidup selayaknya kembali membuat hati Lana terasa miris.Sambil dipandanginya foto salah satu pejuang sekaligus Bapak Presiden pertama RI,yaitu Ir.Soekarno.Dengan mengangkat kepalanya dan mengarahkan konsentrasi dan pikirannya menuju foto yang sudah lapuk dan kian berdebu.Dibingkai dengan ukiran kayu bingkai foto yang terlihat kusam dengan kayunya yang sudah lapuk.Memberikan kesan tersendiri untuk gambar pada bingkai tersebut.Hitam putih warnanya,melambangkan begitu dalam hidup yang dialami ketika masa perjuangan bangsa Indonesia.Dan dilapisinya foto itu dengan sampul plastik yang agak tebal.Namun sebagian telah robek dan banyak debunya.Menambahkan suasana panas yang lengkap dengan desiran debu yang menyambar disekitar Lana berada.
          Pikiran Lana hanya tertuju pada satu obyek tersebut.Dipandanginya dari sekian lama tadi fotoIr.Soekarno dengan mata yang lelah dan agak memerah.Mulutnya melongo,terkejut melihat gambar  beliau yang mampu berdiri tegak ditengah hidup yang kejam kala itu.Tangan kanannya yang menyangga dagu,memberikan kenyamanan dalam merenungi setiap butiran debu yang melintas disisi foto yang dipandanginya.Dengan posisi,duduk yang rapat masih fokus pada satu foto.
          Sedangkan tangan kirinya yang semula membawa topi sambil dikipas-kipaskan ketubuhnya.Tiba-tiba berhenti,dan terjatuh topi yang dia pegang.Seperti orang yang tidak sadar akan apa yang sebelumnya ia lakukan.Tangan kirinya,menggantung dibangku tempat duduknya.
          “Wusssss...,!!!”,terdengar suara desus angin yang keras menyambarnya.Tiba-tiba keadaan yang mulanya sunyi berubah menjadi gaduh dan penuh tanda tanya dibenak Lana.Seketika semuanya berubah,Lana sekejap menjerit dengan lantangnya.”Aaaa...,tolong aku!”.Entah mengapa,posisi Lana sekarang seperti orang yang terjerumus dalam suatu lubang besar.Anehnya,setelah jatuh ke lubang itu.Lana melihat ada suatu kehidupan yang penuh dengan perjuangan.Ya,itulah yang dialaminya sekarang.Hidup lagi pada zaman sebelum kemerdekaan bangsa ini.
          Langkah demi langkah membawanya menelusuri jalan yang terang benderang,yang disinari oleh sang mentari.Begitu juga terdengar suara orang-orang terdahulu yang sibuk bekerja.Ada yang akan membangun jembatan,berdagang,dan herannya hanya kaum wanita yang tak boleh keluar rumah untuk bekerja.”Hmmmss…..,kehidupan apa ini?”
“Kehidupan yang tak adil,apa mungkin ini kehidupan perjuangan?”
“Ah…,tidak mungkin.Tidak mungkin aku kembali dalam masa yang pahit itu.”,gumamnya lirih dalam hati.Dia adalah anak yang sangat peduli dengan segala situasi dan kondisi yang ada.Serta diapun,tak mudah percaya bahwasanya dia kembali dalam masa perjuangan.Namun dengan kegigihanya dia tak punyai rasa putus asa dalam mencari apapun yang ia inginkan.Ketika itu,dia tetap berjalan sambil memandangi segala benda yang ada disekitarnya.Banyak benda yang bersifat dahulu,mungkin ini milik bangsa terdahulu yang ditindas oleh negara penjajah.Baju-baju yang lusuh,dan kendi yang berisi seteguk air untuk minum.Kemudian dilihatinya juga suatu bangunan tua yang biasa disebut loji/rumah peninggalan orang Belanda.Rumah ini terlihat sangat kuat,kokoh,berdiri tegak diantara rumah lain yang kecil dan reot.
          Dengan dipenuhi,rasa penasaran yang tinggi tanpa pikir panjang ia mencoba memasuki bangunan tua itu.Ia berlari menuju rumah itu.Sampailah dia,didepan pintu rumah tersebut.Keadaan pintu masih tertutup rapat,dan seperti tidak ada penghuninya.”Apakah aku langsung saj masuk?”
“Ah…,tapi akau nggak mau pemilikya marah.”,Lana kebingungan untuk memutuskan hal ini.Dengan berjalan mondar-mandir sambil berpikir dan tak lupa menggaruk-garukkan tangannya dikepala.Seketika dia tersadar,bahwa ia tidak memakai seragam sekolah lagi.Namun sekarang,ia sedang mengenakan pakaian adat Jawa.Dan dikepalanya ada sebuah topi Jawa/blangkon coklat yang tampak melingkar dan baik dipandang.
          “Ha…,kok aku jadi begini?”
          “Berarti aku benar-benar ada dijaman perjuangan dong?”,tanyanya kembali dalam hati.Seketika Lana meraba-raba pakaian yang dikenakanya itu.Muncullah noni-noni Belanda yang membukakan pintu Lana.”Kreeek…..!”,terdengar suara pintu yang dibuka dari dalam.”Hai,you siapa?”
“Ada apa you kemari?”,tanya wanita nampak cantik nan anggun ini sambil mengenakan pakaian long dres model orang Belanda.Berdiri tegak dihadapan Lana,dengan gayanya memegangi rambut coklat keritingnya.Tangan kanannya,menyandar ditembok yang ada didekatnya.Seolah ia bersifat manja,dan sinis.Raut wajahnya tampak sadis,terlihat dari tatapan matanya yang tajam.
          Lana,hanya terdiam memandanginya.Namun Si noni Belanda itu tetap mengawasi gerak-gerik Lana.Lana terkesan sedih,lesu dan lemas.Dan Noni Belandapun,mengalihkan pandangannya diluar rumah.Seketika Lana,berlari masuk kedalam rumah Noni Belanda,dengan tipu muslihatnya,ia mampu bersembunyi ketika dikejar Noni itu.”Srrreeet....!”,suara langkah kaki Lana terdengar keras.
          “Hai,anak muda jangan lari kau ya!”,dengan tergopoh-gopoh Noni Belanda mengejar Lana sambil menarik-narik ke atas rok panjang yang nampak anggun dipakainya.Semilir angin yang ikut masuk mengiringi langkah larinya,mengibas-ngibaskan rambut merah kecoklatan yang keriting itu.Kegemetaran jantung Lana,mencoba tetap berlari sambil mengamati setiap sesuatu yang ada di rumah loji tersebut.Terseret-seret suara pintu yang terbuka lebar,menambah susana yang menegangkan ini.Dan jendela yang tidak terima dengan orang asing yang masuk dalam rumah,bersuara keras sembari menempel didinding.”Tok...tok..!”
          Dijumpainya,sebuah bambu runcing yang tajam dan tua dibalik tembok kejaran Noni Belanda.Lana berlari muju ruang bawah tanah,sambil dipegang serta dibawanya erat-erat senjata milik rakyat Indonesia tersebut.”Hhhh...hah..hah..!”,terdengar suara nafas Lana yang tersengal-sengal sembari kepalanya menengok kebelakang melihat kejaran Noni Belanda.Tangga demi tangga ia turuni,dan ia lewati gelapnya ruang bawah tananh yang dipenuhi dengan sarng laba-laba dan banyak tikus,serta kecoak yang menyerang kakinya.
          Tanpa ia sadari,banyak kecoak yang menyelimuti kedua kakinya yang tak memakai alas kaki itu.”Aaaa......!”,begitu lantang suaranya.Tiba-tiba dia merasa terdorong oleh sesuatu,dan masuk dalam lubang besar yang dalam bersama bambu runcing yang senantiasa ia jaga.Kemudian jatuhlah ia,pada sebuah tempat berbentuk segi empat yang didalamnya terdapat banyak rakyat yang terpenjara menderita.”Brrruuuk....!”
“Aduhhhh....sakit!”,terlepaslah blangkon yang ia kenakan dengan rapi dari tempurung kepalanya.Entah kemana blangkon itu,Lana mencari blangkon disekitar tempat ia terjatuh,namun tak ada satupun jejak bundar blangkon yang menemani setiap langkah petualangannya.Dia,hanya kebakaran jenggot dan meraba-raba lingkungan sekitar yang penuh dengan jeritan dan tangisan.”Aku tak sanggup Ya Allah,melihat mereka mati kelaparan disini.Apa yang harus kulakukanYa Rob?”,tanyanya sedih dalm hati kecilnya.Tubuhnya terpaku lemas menyandar ditebok yang mulai runtuh,dan tangannya memegang perut buncit,serta bibirnya kering kerontang dalam dekapan mulut hitamnya.Pakaian compang-camping yang membuat iba Lana,dan rambut gimbal yang mulai merapuhkan kehidupan bangsa ini.Mereka hanya dianggap sebagai sampah masyarakat bagi negara penjajah.Lana kebingungan,untuk menutupi rasa sedih yang kian mendalam.Mondar-mandir,saja sekarang yang dilakukan Lana sambl,berpikir keras bagaimana mengeluarkan rakyat ibu pertiwi dari hidup yang amat kejam kini.Diusap-usapkannya,tetes air mata yang turun dari mata membanjiri pipi perjaka yang hidup penuh kekosongan ini.
          “Tolong,akkkkrrr.........!”,terdengar salah satu teriakkan dari laki-laki yang berada disudut sebelah kiri ruangan berbentuk segi empat ini.Matanya yang mulai sayu,dan perutnya yang mulai merasakan kelaparan membuat Lana semakin terharu biru oleh keadaan yang pahit ini.Sesekali,Lana membuang muka karena tak sampai hati mau melihat keadaan orang tersebut.Namun,dia berusaha menerima segala keadaan yang ada.
          Karena ikut merasakan mirisnya keadaan,Lana lupa bahwa senjata bambu runcing yang ia bawa sekarang telah musnah entah kemana.Dan Noni Belanda itu,bagaikan angin yang sekilas mampir dan pergi entah kemana.Tanpa ada sebab yang jelas.”Loh,dimana bambu runcingnya?”,seketika ia teringat oleh senjata bersejarah dari bangsa ini.Kemudian dicari-carinya,benda tersebut.Namun tak urung jua,bertemu dengannya.Sudah,berbagai sudut ruangan ia telusuri dan ia mulai menaiki tangga menuju ruang atas.Tak ada juga benda  panjang ,kecil itu.Karena terasa lelah,pada petualangan hari ini.Tanpa ia sadari,dia tertidur didepan gerbang penjara rakyat Indonesia.”Hrroook.....!”,suara lirih yang diiringi oleh hembusan nafas-nafas dari rakyat yang menderita berasal dari mulut Lana ketika ia tidur.Wajah yang nampak segar sebelumnya,dan badan yang terlihat sehat sekarang seperti tak ada tulangnya.Terkulai lemas dialas kayu dan bambu yang mulai retak.
          Datanglah cahaya putih,yang bersinar kearah Lana.”Ada apa ini......?”,tanya Lana kebingungan,sembari bangun dari tidurnya dan mencoba duduk bersandar ditembok kayu rapuh itu.Cahaya putih,itu menyilaukan mata merah Lana.Lana langsung melindungi matanay dengan tutupan rapat kedua tanganya.Akhirnya cahaya itu berbelok ke kanan menuju penjara rakyat Indonesia.Seketika Lana tak mau ketinggalan,sambil mengendap-endap ia mengikuti cahaya tersebut.Ternyata cahaya tersebut mengarah pada pintu gerbang penjara yang ditutup rapat-rapat oleh algojo Belanda.Dan terjatuhlah senjata bambu runcing dari kilauan cahaya suci itu,tepat pada rankulan kedua tangan Lana.Seakan Lana,mendapat petunjuk dari Allah SWT.Tanpa ia sadari,langkah kakinya berjalan menuju pintu gerbang penjara dan tangannya selalu membawa bambu runcing.”Bissmillahhirrohmanirrohim.....!”,kata Lana sebelum me lancangkan bambu runcing pada gembok kunci pintu gerbang penjara.Dan Alhamdullilah,pintu terbuka lebar.Beribu rakyat yang menderita segera keluar dengan penuh rasa syukur dan senyuman yang menghiasi langkah-langkah kakinya.Lanapun ikut tersenyum bahagia,ketika ia melihat keadaan haru biru itu semakin lengkap karena salah satu laki-laki berperawakan tinggi,besar yang ada dibelakangnya adalah Ayahandanya sendiri.”Ayah....!”,panggil anak sulung itu dengar lantang kepada orang yang selama ini dirindukan kasih sayangnya.
          Begitupun Sang Ayah menjawab dengan penuh kegembiraan,”Lana....!”.Kedua Ayah dan anak itu,mendekat dan berpelukan sambil meneteskan air mata masing-masing.”Terima kasih anakku kau telah bebaskan Ayah.”
“Namun Ayah tak bisa selamanya denganmu,karena Ayah harus pergi.”,kata laki-laki dewasa ini,dengan nada bijaksana.
          “Kenapa Yah?”
          “Lana masih ingin lebih lama dengan Ayah.”,bisik anak laki-laki yang terkesan sangat membutuhkan Ayahnya itu.
          Tiba-tiba,badan Ayahnya menghilang dan tak ada sisa sedikitpun bayangan yang akan selalu dirindukan Lana.Bambu runcing itu,jatuh.Karena Lana,tak mampu menahan duka tangisan kepergian Ayahnya.Dia bersimpuh meratapi nasibnya.
          Sekejap ia memejamkan matanya,kemudian ia terbangun dari tidurnya.Dalam keadaan serba gelap dan sunyi.Dia ada disebuah tanah lapang,entah ini apa.”Astaghfiruwloh...!”,Lana terkejut karena dilihatnya ada sebuah nisan yang bertuliskan nama Ayahnya.”Ternyata,ini alasanya Ayah meninggalkan aku.”,kata anak sulung itu,yang masih mengingat kejadian dimana terakhir bertemu dengan Ayah tercintanya.Ia berdo’a kepada Sang Ilahi.Agar suatu saat mereka bisa bertemu kembali,disurga yang telah Sang Khalik janjikan.Dielus-eluskannya,nisan putih yang nampak sedikit debu yang menempel menemani deraian air mata Lana.Sudah larut malam ia berada di kuburan sendiri,ia memberanikan diri untuk bergegas pulang.Dengan melewati gang kecil kuburan,suasana sunyi sepi tanpa ada sedikit suarapun mengiringi derap langkah kakinya yang tergesa-gesa.
          Sesampainya didepan pintu rumah yang belum tertutup.Karena Ibunya menunggu kepulangannya,sampai tertidur disova depan.Sejenak berhenti sambil memandangi raut wajah Ibunya,kemudian Lana mengambilkan selimut untuk Ibunya.Dia seketika tersenyum meliat Ibunya,yang sangat sayang padanya.Bergeraklah Lana menuju kamar yang menunggu kepulangannya juga.Dia melihat dan diambilnya,sepucuk surat diatas taplak hijau kamarnya.Perlahan-lahan dibukanya,dengan tangan gemetar.
          “Itulah sepenggal dari pengalaman hidup seorang sahabatku yang selalu berjuang untuk hidup bersama keluarganya,meski tanpa seorang Ayah.”
“Segala kiasan menegangkan ia hadapi ketika ia tertidur di uburan Ayahnya.”
“Ayahnya,adalah seorang pejuang negara ini.Aku hanya bisa mendoakan semoga arwahnya diterima disisiNya.Amin!”
“Ku buat cerita ini,semata-mata untuk kenangan kita kawan.Karena setelah lulus aku akan pergi menlanjutkan study di Yogyakarta.”
“Semoga kau,selalu kuat dari segala macam cobaan hidup.”
Sahabatmu Ardi
“Aku sangat senang mempunyai sahabat yang sangat peduli terhadapku.Semoga kelak kita akan bertemu”,bisik Lana mengenang hari-hari bersama sahabat karibnya itu.Yang terakhir kalinya ketika dibangku SMU Lana tidak menggapnya dan dia malah melamun.”Sekarang mentari mulai bersinar,saatnya aku bekerja mengais rezeki untuk Ibu dan kedua adikku kawan.”,kata Lana sembari menaruh surat dari Ardi.Dan bergegas,keluar dari kamarnya.Agar tidak kembali terlarut dari rasa rindunya kepada Alm.Ayahnya dan sahabat karibnya.

Oleh:Auliya SM